jakarta – Rupiah sanggup mempertahankan posisi di area hijau pada perdagangan rabu (5/10) sore meskipun indeks dolar AS bergerak stabil setelah bank sentral Selandia Baru menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.52 WIB, mata uang Garuda ditutup menguat 55 poin atau 0,36% ke level Rp15.192,5 per dolar AS.
Sementara itu, mata uang di kawasan Benua Asia terpantau bergerak variatif terhadap greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling perkasa setelah melonjak 0,44%, diikuti yen Jepang yang bertambah 0,19%, yuan China yang menguat 0,13%, dan peso Filipina yang naik 0,09%. Sebaliknya, baht thailand harus melemah 0,09%, sedangkan dolar Singapura terkoreksi tipis 0,01%.
“Rupiah bakal bergerak menguat pada perdagangan hari ini, sejalan dengan meredanya perkiraan kenaikan suku bunga The Fed yang lebih tinggi,” tutur analis DCFX, Lukman Leong, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Sentimen risk appetite di pasar masih kuat dan dolar AS terus bergerak lebih rendah.”
Dari pasar global, dolar AS sebenarnya mampu bergerak stabil pada hari Rabu, setelah kenaikan suku bunga yang tajam di Selandia Baru menuangkan air dingin di atas harapan untuk jeda atau perlambatan niat Federal Reserve untuk lebih agresif. Mata uang Paman Sam terpantau menguat 0,345 poin atau 0,31% ke level 110,410 pada pukul 10.29 WIB.
Dolar AS sempat mengalami kemunduran terberatnya dalam lebih dari dua tahun pada hari Selasa (4/10). Namun, mampu kembali ke posisi terdepan setelah Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) memutuskan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin. Pergerakan dan nada RBNZ kontras dengan kenaikan suku bunga Reserve Bank of Australia (RBA) sebesar 25 basis poin sehari sebelumnya, yang telah memicu harapan bahwa The Fed dapat memperlambat kenaikan dan memicu penjualan greenback.
“Sama seperti kenaikan RBA yang lebih kecil dari perkiraan kemarin yang menambah pemangkasan taruhan The Fed yang hawkish, sinyal hawkish RBNZ dapat mengingatkan pasar bahwa memerangi inflasi masih menjadi prioritas bagi banyak bank sentral,” kata analis Maybank, Saktiandi Supaat, dilansir dari Reuters. “Kemiringan dovish yang lebih sinkron di antara bank sentral utama karena kekhawatiran pertumbuhan mungkin terlalu dini.”
Analis telah berhati-hati tentang seberapa banyak yang benar-benar berubah tentang prospek fiskal Inggris dan seberapa luas sinyal suku bunga Australia sebenarnya, membiarkan penurunan dolar AS terbuka untuk pembalikan. Data tenaga kerja AS yang akan dirilis pada hari Jumat (7/10) akan menjadi indikator utama berikutnya dari kemungkinan lintasan suku bunga AS.