Trump effect dan ancaman kenaikan suku bunga The Fed sepertinya masih menghantui pergerakan rupiah pada awal pekan (14/11) ini, setidaknya untuk waktu jangka pendek. Seperti dilaporkan Bloomberg Index, setelah dibuka menguat 19 poin atau 0,14% ke Rp13.364 per dolar AS, spot langsung berbalik terdepresiasi 125 poin atau 0,93% ke Rp13.508 per dolar AS pada pukul 08.55 WIB.
“Pasca-terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang baru, nilai tukar rupiah memang diprediksi masih akan bergejolak,” ujar Analis Pasar Uang Bank Mandiri, Reny Eka Putri. “Pengaruh eksternal, terutama perkembangan AS usai terpilihnya Trump, masih akan menjadi perhatian pasar.”
Meski demikian, ditambahkan Reny, katalis domestik diperkirakan cukup positif usai Neraca Perdagangan Indonesia kuartal III 2016 yang dirilis surplus 2,09 miliar dolar AS. “Meski belum akan menyentuh level Rp13.000, kurs rupiah diramal berada pada level Rp13.210 hingga Rp13.245 per dolar AS,” sambung Reny.
Hampir senada, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, menuturkan bahwa pelemahan mata uang Garuda bisa bertahan dalam jangka pendek atau hingga pertemuah The Fed pada Desember 2016. “Tekanan rupiah berpeluang bertahan dalam jangka pendek, paling tidak hingga FOMC meeting di Desember 2016, meski ruang pelemahan bisa ditekan seiring kehadiran Bank Indonesia di pasar valas dan SUN yang saat ini dibekali oleh 115,7 miliar dolar AS cadangan devisa,” kata Rangga.
“Dalam jangka menengah, kami melihat membaiknya indikator fundamental seperti defisit neraca transaksi berjalan, inflasi, serta prospek perbaikan defisit fiskal yang akan menjaga tren penguatan rupiah,” sambungnya. “Fokus perlahan akan beralih ke data perdagangan Indonesia yang rilis Selasa siang serta BI RR rate yang diluncurkan Kamis mendatang.”