PARIS – Dewan Kota Grenoble, Prancis memutuskan untuk mengizinkan warga memakai pakaian sesuka mereka di kolam renang, termasuk burqini bagi wanita Muslim. Keputusan yang dikeluarkan beberapa minggu setelah terpilihnya kembali Emmanuel Macron sebagai pemimpin Prancis tersebut langsung mendapatkan kritikan tajam dari banyak politisi Negeri Anggur karena dinilai ‘bertentangan dengan nilai-nilai sekuler’.
Seperti dilansir dari TRT World, bagi Wali Kota Grenoble, Eric Piolle, yang berasal dari Partai Hijau Eropa, mengizinkan burqini di kolam renang sebenarnya bukanlah masalah agama, tetapi yang berpusat pada kebebasan memilih dan kesetaraan. Menurut dia, perempuan harus diizinkan berenang dengan apa yang mereka mau, tanpa busana atau mengenakan burqini.
Wali Kota yang terpilih pada 2014 itu mengatakan, burqini diizinkan di kolam renang di Kota Rennes. Otorisasi ini disahkan empat tahun lalu oleh seorang walikota sosialis, dengan bantuan anggota parlemen dari Partai Emmanuel Macron, La Republique En Marche. “Hingga saat ini, itu tidak ada masalah,” ujar Piolle di France 2.
Namun, banyak politisi yang tidak setuju dengan Piolle, mengatakan bahwa burqini, sebuah portmanteau dengan konotasi sinis dari burqa, harus dilarang. Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, yang juga seorang konservatif, mengatakan langkah itu adalah ‘provokasi yang tidak dapat diterima’ yang bertentangan dengan nilai-nilai sekuler. Dia mengumumkan akan mencoba memblokirnya.
Politisi sayap kanan dan mereka yang berhaluan kanan lainnya seperti Laurent Wauquiez dari Partai Les Republicains juga marah dengan keputusan Piolle. Dengan perkembangan terakhir, Wauquiez akan memotong jutaan euro subsidi dewan regional untuk Grenoble. Sejumlah feminis Prancis sekuler sebelumnya sempat mendukung larangan burqini, beralasan bahwa perempuan Muslim tidak boleh menjadi subjek diktat agama laki-laki.
Ini bukan pertama kalinya burqini memicu kontroversi di Prancis. Kontroversi atas pakaian renang ini pada tahun 2016 lalu menyebabkan pengadilan administrasi tertinggi Prancis, Conseil d’Etat, menetapkan preseden dalam undang-undang, ketika membatalkan larangan pakaian renang burqini yang diajukan oleh Kota Villeneuve-Loubet. Pengadilan menganggap bahwa larangan yang diperkenalkan oleh 30 kota pesisir sebagai serangan serius dan ilegal terhadap kebebasan mendasar.
Prancis sebenarnya adalah rumah bagi lebih dari 6 juta Muslim, sebagian besar keturunan dari bekas penduduk kolonial di Afrika Utara. Namun, pilihan seorang wanita tidak akan dihormati di negara itu, kecuali jika sesuai dengan interpretasi sekularisme Prancis yang kaku. Pada tahun 2004, Prancis melarang jilbab di ruang kelas di sekolah negeri dan kantor pemerintah, meskipun itu tetap menjadi pemandangan pejalan kaki di negara tersebut.
Nicolas Sarkozy, yang kepresidenannya ditandai dengan munculnya rasisme anti-Muslim (meskipun tidak menolak untuk mengambil uang dari para pemimpin negara Muslim), adalah menteri dalam negeri pada saat pelarangannya. Dia terpilih sebagai presiden tiga tahun kemudian. Pemerintahan Sarkozy juga melarang penutup wajah penuh di mana saja di Prancis, dan dituduh oleh kelompok hak asasi manusia memilih perempuan Muslim untuk di-stigmatisasi.