JAKARTA – Setelah bergerak fluktuatif, rupiah akhirnya menutup perdagangan Senin (21/3) sore di zona hijau menyusul keputusan China yang menahan suku bunga pinjaman mereka dan sudah diprediksi pasar. Menurut laporan Bloomberg Index pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda ditutup menguat tipis 3,5 poin atau 0,02% ke level Rp14.336,5 per dolar AS.
Sementara itu, sebagian besar mata uang di kawasan Benua Asia terpantau tidak berdaya melawan greenback. won Korea Selatan menjadi yang paling terpuruk setelah melorot 0,34%, diikuti yuan China yang melemah 0,22%, baht Thailand yang terkoreksi 0,12%, dan peso Filipina yang turun 0,07%. Sebaliknya, rupee India masih mampu menguat 0,61%, sedangkan dolar Singapura naik 0,09%.
“Nilai tukar rupiah berpotensi melemah terhadap dolar AS karena sentimen negatif dari invasi Rusia ke Ukraina,” tutur analis pasar uang, Ariston Tjendra, pagi tadi seperti dikutip dari CNN Indonesia. “Invasi Rusia masih berlanjut. Mereka masih memberikan tekanan ke Ukraina dengan serangan misil agar menyerah dan menerima syarat-syarat yang diajukan Rusia. Sebagian optimis perdamaian akan segera tercapai, tetapi sebagian lagi skeptis bahwa perang bisa berlangsung lebih lama.”
Dari pasar ekuitas, saham di kawasan Asia-Pasifik bergerak mixed pada awal pekan, karena investor bereaksi terhadap rilis suku bunga pinjaman acuan terbaru China, selain lonjakan harga minyak sekitar 3%. Indeks Hang Seng hong kong, yang naik lebih dari 1% pada awal perdagangan, memangkas kenaikan tetapi tetap di wilayah positif. Saham China daratan juga lebih tinggi, dengan komposit Shanghai naik 0,19% dan komponen Shenzhen naik 0,898%.
Dilansir dari CNBC International, suku bunga pinjaman satu tahun China dipertahankan tidak berubah pada level 3,7% pada hari Senin, sebagian besar sejalan dengan ekspektasi survei Reuters. Investor telah mengamati petunjuk dukungan kebijakan dari Beijing menyusul laporan media pemerintah China pada pekan lalu yang mengisyaratkan dukungan untuk saham China.
“Pasar mengharapkan langkah-langkah pelonggaran kebijakan oleh otoritas China, termasuk satu hingga dua putaran pemotongan rasio persyaratan cadangan untuk bank,” ujar Eva Lee dari UBS Global Wealth Management. “Berdasarkan pengalaman tahun lalu, tindakan paling awal mungkin akan dilakukan pada awal April mendatang.”