BEIJING – Sebuah majalah militer lokal telah mendesak pemerintah China untuk mengembangkan drone anti-kapal selam guna melawan kapal selam canggih dari AS dan Jepang dengan lebih baik. Namun, menurut analis Negeri Paman Sam, meskipun drone dapat memperluas jangkauan dalam upaya anti-kapal selam, tetapi peralatan tersebut memiliki daya dukung yang terbatas.
Seperti dilansir dari South China Morning Post, majalah Ordnance Industry Science Technology pada bulan ini menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan China dapat mengembangkan platform pesawat patroli anti-kapal selam tak berawak jika memanfaatkan kemajuan negara itu dalam teknologi UAV (unmanned aerial vehicle atau drone).
“Mode baru anti-kapal selam dapat dikembangkan setelah mengerahkan platform patroli kapal selam tak berawak ini untuk melakukan patroli maritim yang dinormalisasi, deteksi kapal selam cepat, dan patroli anti-kapal selam,” tulis artikel tersebut. “Platform UAV menghilangkan kebutuhan awak pesawat dan sistem kontrol yang diperlukan pada pesawat berawak, dan dapat sepenuhnya menggunakan keunggulannya sebagai jaringan, berkemampuan dunia maya, dan tanpa awak.”
Artikel tersebut melanjutkan, pesawat tak berawak memiliki persyaratan keselamatan yang jauh lebih rendah daripada pesawat berawak. Tidak hanya dapat terbang secara stabil di ketinggian yang lebih rendah, tetapi juga dapat digunakan dalam kondisi cuaca yang kompleks. Platform tak berawak juga memiliki peralatan udara yang relatif sedikit dan mereka lebih nyaman digunakan, membuatnya cocok untuk operasi eksplorasi kapal selam jangka panjang.
“China memang telah mengembangkan pesawat patroli anti-kapal selam berbasis pantai,” sambung artikel tersebut. “Namun, karena keterbatasan kemampuan pesawat, itu tidak dapat memenuhi kebutuhan tempur di masa depan untuk melawan kapal selam canggih dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang.”
Mereka pun menyerukan pengembangan teknologi yang relevan untuk pesawat patroli anti-kapal selam berbasis pantai generasi berikutnya untuk tetap proaktif ketika berhadapan dengan kapal selam saingan. Pesawat patroli anti-kapal selam China saat ini, KQ-200 (juga dikenal sebagai Y-8Q atau GX-6), didasarkan pada platform Y-8, menampilkan turboprop enam bilah WJ-6C. Pesawat ini dilengkapi dengan radar pencarian permukaan, muatan elektro-optik di bawah badan pesawat, dan detektor anomali magnetik di ekornya.
Sementara itu, Timothy Heath, pakar keamanan senior dari lembaga think tank AS, Rand, mengatakan bahwa mengembangkan pesawat patroli anti-kapal selam tak berawak memiliki kelebihan dan tantangan. Menurutnya, keuntungan utama platform ini adalah memperluas jangkauan dan mengurangi biaya upaya anti-kapal selam. Namun, daya dukung platform tak berawak sangat terbatas. Varian tak berawak yang diuji oleh militer AS hanya dapat membawa sekitar 10 sonobuoy, seperempat dari muatan pesawat anti-kapal selam P-8 Poseidon.
“Solusinya mungkin adalah menyebarkan beberapa UAV dengan muatan yang lebih kecil untuk mencakup area yang sama dengan yang bisa dilakukan oleh pesawat besar berawak,” tutur Heath. “Namun, ini pada gilirannya tetap membutuhkan kemampuan untuk mengumpulkan dan memproses sinyal dari jarak jauh, yang memiliki tantangan teknisnya sendiri.”
Ridzwan Rahmat, analis pertahanan utama di penerbit militer Janes, menambahkan bahwa kemampuan platform tak berawak untuk berburu kapal selam sangat bergantung pada sistem perburuan kapal selam yang bisa mereka gunakan. Meski demikian, tidak mungkin sistem berawak akan sepenuhnya dihilangkan. “Jadi, operasi perburuan kapal selam di masa depan mungkin akan melibatkan campuran aset berawak dan tak berawak di udara, darat, dan laut,” katanya.
Ketika China masih meneliti bagaimana mengembangkan pesawat canggih ini, AS telah memimpin. Pada bulan Januari 2021, perusahaan AS, General Atomics, menunjukkan MQ-9 menjatuhkan 10 sonobuoy (sistem sonar kecil yang dapat dijatuhkan dari pesawat atau kapal yang melakukan peperangan anti-kapal selam atau penelitian akustik bawah air untuk menyampaikan informasi) untuk melacak simulasi kapal selam. Itu dilacak selama sekitar tiga jam dalam tes sukses pertama di dunia.