Charlottesville – Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang cerdik akan berusaha mengeksploitasi China dan Rusia. Namun, itu justru menjadi bumerang bagi AS sebagai benteng kekuatan militer Barat yang mendorong China dan Rusia kerja sama dalam meruntuhkan kekuatan AS.
Dilansir dari The National Interest, struktur kekuatan global saat ini digambarkan sebagai bipolaritas yang dimodifikasi. AS akan terus menjadi benteng kekuatan militer Barat, termasuk dalam misi pencegahan nuklir. Di sisi lain, kekuatan China terhadap AS meningkat pesat.
Dalam konseptualisasi teoretis dari bipolaritas, satu negara non-superpower tidak dapat mengubah keseimbangan kekuatan global demi satu kutub. Namun, Rusia memiliki kondisi khusus, yakni mempunyai kekuatan nuklir tinggi, kekayaan sumber daya, kemampuan konvensional tangguh, dan sangat berpengaruh di dunia bagian selatan. Hal ini membuat Rusia yang bukan negara adidaya dapat memengaruhi keseimbangan dua kutub.
China tampaknya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang berkembang pesat melebihi AS. Saat ini, hanya China yang mampu bersaing dengan AS secara diplomatis, militer, informasi, dan ekonomi. Sementara itu, China dan Rusia sama-sama revisionis di bidang pemerintahan dan ambisi, sehingga tak ayal jika dua negara ini bisa bekerja sama dengan tujuan mendongkrak militer Barat.
“Rusia dan China mampu berbagi komitmen untuk menciptakan tatanan global ‘pasca-Barat’ yang mempertimbangkan kepentingan mereka dan kondusif untuk pemerintahan otoriter,” kata Angela Stent, rekan senior nonresiden Brookings Institution. “Teori transisi kekuasaan menunjukkan bahwa ketika negara adidaya baru yang potensial bangkit, negara tersebut akan mulai menunjukkan taringnya.”
Saat China bangkit, kemungkinan akan berusaha merevisi tatanan global yang saat ini ditanggung AS dengan usd sebagai mata uang cadangan global. China kemungkinan akan merevisi tatanan ini sesuai dengan citra otoriternya untuk mendominasi negara-negara tetangga dengan impunitas dan menyelesaikan perselisihan melalui paksaan dan jika perlu dengan kekerasan.
Jika bekerja sama dengan Rusia, maka kemungkinan Rusia akan membagikan sistem politik otoriter China dan keinginannya untuk merevisi wilayah serta pengaruhnya dengan kekuatan paksa. Ini akan membuat Rusia dan China menjadi negara sahabat secara alami dengan tujuan menggulingkan tatanan global yang didominasi AS.
“Namun, China juga merupakan ancaman bagi Rusia dan mereka memiliki sejarah sengketa wilayah dan kecurigaan satu sama lain,” kata Jeremiah Rozman, Letnan Angkatan Darat AS. “Kebijakan luar negeri AS yang cerdik akan berusaha mengeksploitasi masalah ini.”
Meskipun terdapat banyak masalah di antara China dan Rusia, Presiden Xi Jinping pada Rabu (15/6) sudah meyakinkan Vladimir Putin tentang dukungan China pada ‘kedaulatan dan keamanan’ Rusia. Ini juga yang membuat Washington memperingatkan Beijing bahwa itu berisiko buruk bagi dua negara.
China telah menolak untuk mengutuk serangan militer besar-besaran Moskow di Ukraina dan telah dituduh memberikan perlindungan diplomatik untuk Rusia dengan mengecam sanksi Barat dan penjualan senjata ke Kiev. Dikutip dari Liputan 6, China bersedia untuk terus menawarkan dukungan timbal balik kepada Rusia pada isu-isu mengenai kepentingan inti dan keprihatinan utama seperti kedaulatan dan keamanan.