Aset Risiko Kembali Diburu, Rupiah Ditutup Menguat

Rupiah menguat pada perdagangan Senin (23/8) sore - berita.news

JAKARTA – Rupiah mampu menjaga posisi di teritori pada perdagangan Senin (23/8) sore seiring kembalinya minat pasar terhadap aset berisiko, didukung optimisme pemulihan ekonomi di tengah kasus Covid-19. Menurut catatan Bloomberg Index pada pukul 14.49 WIB, mata uang Garuda berakhir menguat 40 poin atau 0,28% ke level Rp14.412,5 per dolar .

Bacaan Lainnya

Sementara itu, mayoritas mata uang di Benua Asia juga mampu mengungguli greenback. Won Korea Selatan menjadi yang paling perkasa setelah melonjak 0,60%, disusul peso Filipina yang naik 0,33%, baht Thailand yang menguat 0,26%, dan ringgit Malaysia yang bertambah 0,24%. Sebaliknya, rupee India dan Jepang harus melemah, masing-masing 0,20% dan 0,06%.

“Penguatan rupiah bersama mata uang asing lainnya ditopang kembalinya minat pasar terhadap aset berisiko, memanfaatkan peluang buy on dip,” kata analis pasar uang, Ariston Tjendra, dikutip dari CNN Indonesia. “Meskipun kondisi ekonomi dibayangi Covid-19, tetapi pasar terlihat masih optimistis mengenai peluang ekonomi ke depan.”

Dari pasar global, dolar AS sebagai aset safe haven harus turun dari posisi tertinggi dalam lebih dari sembilan terhadap mata uang utama pada hari Senin, demikian juga mata uang komoditas seperti dolar Australia yang merana di tengah kekhawatiran bahwa virus corona varian Delta dapat menggagalkan pemulihan ekonomi global. Mata uang Paman Sam terpantau melemah 0,186 atau 0,20% ke level 93,310 pada pukul 11.05 WIB.

Seperti diberitakan Reuters, saat ini fokus pasar tengah tertuju pada simposium tahunan Jackson Hole, Wyoming yang kali ini masih akan berformat online lantaran lonjakan kasus Covid-19. Gubernur Federal Reserve, Jerome Powell, yang sejauh ini masih mengecilkan dampak varian Delta, dijadwalkan akan memberikan pidato di acara tersebut tentang prospek ekonomi global.

“Ini dapat dengan mudah memainkan dolar AS yang sebelumnya positif menjadi negatif, dari perspektif safe haven ke risk sentiment,” tutur kepala strategi mata uang National Australia Bank, Ray Attrill. “Sementara itu, meningkatnya infeksi dan pembatasan baru di Australia dan Selandia Baru mata uang mereka tetap berat. Masih terlalu dini untuk mengakhiri pergerakan turun ini.”

Pos terkait