WASHINGTON – AS dan Mikronesia pada Senin (15/5) kemarin dilaporkan sepakat untuk memperbarui pakta strategis utama. Memperbarui perjanjian COFA (Compact of Free Association) telah menjadi bagian penting dari upaya Negeri Paman Sam untuk melawan upaya China guna memperluas pengaruhnya di Pasifik. Gedung Putih juga mengharapkan kemajuan serupa dengan Palau dalam langkah untuk menopang dukungan di antara negara-negara Kepulauan Pasifik.
“COFA dengan Mikronesia akan ditandatangani pada 22 Mei mendatang dalam sebuah upacara di Papua Nugini, yang dihadiri oleh Presiden AS, Joe Biden, dan Presiden Mikronesia, Wesley Simina,” kata utusan Presiden AS, Joseph Yun, dilansir dari Reuters. “Saya berharap dapat berada di Kepulauan Marshall pada Kamis (18/5) hingga Minggu (21/5), tetapi perjanjian COFA mungkin saat ini belum dapat diselesaikan.”
Washington pertama kali mencapai kesepakatan COFA dengan ketiga negara pulau tersebut pada 1980-an, ketika Gedung Putih mempertahankan tanggung jawab atas pertahanan mereka dan memberikan bantuan ekonomi serta mendapatkan akses eksklusif ke petak-petak strategis besar di Pasifik sebagai imbalannya.
“Kami menandatangani perjanjian dengan mitra negosiasi Mikronesia, Leo Falcam, dan akan secara resmi menandatanganinya minggu depan di Port Moresby di sela-sela pertemuan puncak kedua antara AS dan para pemimpin Kepulauan Pasifik,” sambung Yun. “Ini benar-benar kesepakatan, dan saya (sekarang) akan pergi ke Palau, tempat saya berharap untuk membuat kemajuan serupa.”
Ketentuan COFA yang lama akan berakhir pada tahun 2023 untuk Kepulauan Marshall dan Mikronesia, dan pada tahun 2024 untuk Palau. Washington telah menandatangani nota kesepahaman tentang bantuan di masa depan dengan tiga negara bagian COFA. Yun pada bulan lalu mengatakan perjanjian ‘topline’ akan memberi mereka total sekitar 6,5 miliar dolar AS selama 20 tahun.
Ditanya tentang Kepulauan Marshall, pejabat senior AS lainnya berkata bahwa ini bukan lagi tentang jumlah uang, tetapi tentang bagaimana uang itu akan disusun dan bagaimana akan dibelanjakan dan masalah apa yang akan dibahas. Dalam jangka panjang, dirinya sangat optimistis bahwa mereka akan mendapatkan kesepakatan dengan RMI (Republic of the Marshall Islands). “Ini selalu sangat, sangat sensitif secara politis di setiap negara,” katanya.
Tahun lalu, lebih dari 100 kelompok kontrol senjata, lingkungan, dan aktivis lainnya mendesak pemerintahan Joe Biden untuk secara resmi meminta maaf kepada Kepulauan Marshall atas dampak uji coba nuklir besar-besaran AS di sana dan memberikan kompensasi yang adil. Penduduk Kepulauan Marshall masih terganggu oleh dampak kesehatan dan lingkungan dari 67 uji coba bom nuklir AS pada tahun 1946 hingga 1958, termasuk ‘Castle Bravo’ di Bikini Atoll pada tahun 1954, bom terbesar AS yang pernah diledakkan.
Sementara itu, Joe Biden pada minggu depan akan menjadi presiden AS pertama yang mengunjungi negara di Kepulauan Pasifik, Papua Nugini, setelah pertemuan puncak G7 di Jepang. Ia dengan tegas menggarisbawahi bahwa investasi negaranya di kawasan Pasifik adalah salah satu upaya untuk melawan China.